27 November 2010

Kebudayaan Dayak


Pada mulanya penduduk asli pulau Kalimantan mendiami tepi-tepi laut dan tepi sungai, tetapi lama-kelamaan terdesak oleh kaum pendatang dan oleh bermacam-macam sebab lainnya sehingga mereka semakin ke hulu (pedalaman). Sejak itulah mereka disebut sebagai “ orang hulu” (penyebutan ini sering ditujukan pada orang Dayak). Dari hulu sungai ini mereka menyebar ke pedalaman-pedalaman pulau Kalimantan.
            Menurut informasi yang diperoleh, sesungguhnya penduduk asli Kalimantan adalah suku bangsa Dayak. Dengan terjadinya penyebaran kehulu-hulu sungai di pedalaman timbullah sub-sub suku Dayak yang masing-masing kemudian memiliki adat dan bahasa sendiri. Namun demikian pada dasarnya inti dari adat mereka sama.
            Seperti yang terdapat pada suku-suku bangsa lain di Indonesia, suku bangsa Dayak mempunyai banyak sekali tata aturan hidup yang harus dipatuhi, misalnya adat berpakaian, adat dalam melakukan suatu upacara baik yang berkaitan dengan daur hidup maupun dengan peristiwa alam, adat menerima tamu, dan lain-lain. Kecenderungan mereka untuk tetap menghormati dan menjunjung tinggi adat istiadatnya itu didorong oleh ketentuan akan hokum adat yang tetap diberlakukan bagi si pelanggar adat sampai sekarang.


KEBUDAYAAN DAYAK

  1. Kesenian
1. Seni Sastra
Perkembangan seni sastra di daerah Kalimantan masih agak kurang tetapi salah satu unsur seni sastra yang berkembang di masyarakat Dayak pada umumnya adalah sejenis foklore (cerita rakyat) yang diwariskan pada generasi berikutnya secara turun-temurun juga pepatah-pepatah, peribahasa serta teka-teki masih banyak mereka miliki dan hidup sampai sekarang walaupun semuanya bersifat lisan.
Selain seni sastra yang telah disebutkan di atas, dalam upacara-upacara masyarakat Dayak terdapat juga syair-syair dan doa kepada para dewa yang dilagukan. Dalam upacara masyarakat Dayak terdapat unsur-unsur seni seperti seni musik, seni sastra, seni tari, seni lukis, dan lain-lain. Kesemuanya tergabung menjadi satu rangkaian yang tidak dapat dipisah-pisahkan karena satu sama lain saling berkaitan. Misalnya pada upacara-upacara Naik Dango, Gawai di Kalimantan Barat, Upacara Erau Padi,, Pesisi, Unding, Ne Ngelau,  Ngeldum Pelas Tanah, Ayau/ Mamat, Lemifa, Lemalig di Kalimantan Timur.
2. Seni Rupa
Peninggalan seni rupa pada masyarakat Dayak ada beberapa jenis yaitu seni arsitektur, seni pahat, seni ukir, seni lukis, dan seni kerajinan,. Dalam masyarakat Dayak seni arsitektur dapat dilihat pada bangunan-bangunan rumah panjang (rumah betang ) yang mempunyai ciri-ciri dan seni tersendiri. Walaupun sebenarnya bentuk bangunan pada rumah-rumah panjang tersebut belum dapat dikatakan sebagi suatu seni arsitektur yang sesungguhnya, tetapi masih dapat dikategorikan dalam pengertian seni arsitektur yang masih sederhana.
Seni ukir masyarakat Dayak dapat kita lihat pada gagang mandau dan sarung tanking yang merupakan alat-alat persenjataan mereka. Biasanya ukiran pada gagang mandau menyerupai kepala naga sedangkan ukiran pada sarung tangkin berbentuk kelopak bunga dengan sisinya bermotif pilin berganda dan salur daun. Suku bangsa dayak pada umumnya mengenal dua macam pola seni ukir, yaitu seni ukir timbul yang disebut dalam bahasa Kenyah kalung ugeng dan seni ukir tengelam disebut kaluking. Pola seni ukir mereka juga sudah berbentuk khusus seperti pola arwah-arwah, pola roh-roh sakti, dan pola kembang. Pola-pola seni ukiran ini dapat kita jumpai juga pada pakaian wanita Dayak, hiasan-hiasan dinding ( ornamen ), alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Di Kalimantan tengah seni ukiran juga berkembang dengan motif-motif seperti pakpusu, pucuk rebung, tanaman menjalar ( bajakan elek ), motif burung enggang, ular, balanga dan berbagai jenis buah.
Seni lukis tradisional pada khususnya dan seni tradisional pada umumnya pada masyarakat Dayak berguna untuk upacara keagamaan. Bentuk kesenian ini harus mengabdi kepada makhluk halus. Sebagai contoh, lukisan pada dinding rumah atau lukisan pada tubuh seseorang pada umumnya berfungsi untuk mencari persahabatan dengan makhluk halus yang berada diluar manusia itu, sehingga dapat mendatangkan pengaruh magis yang menambah kekuatan manusia atau mendatangkan ketentraman keluarga penghuni rumah tersebut. Dengan demikian dikatakan bahwa kesenian tradisional pada umumnya dan seni lukis pada khususnya mengandung arti simbolik untuk menggambarkan sesuatu.
Naga dianggap sebagai binatang keramat sedangkan burung enggang dan ruai dianggap sebagai raja dari burung bahkan menurut penuturan para informan bahwa burung enggang itu dulunya manusia. Oleh karena itu maka jenis berbagai  binatang tersebut dilukiskan pada pakaian dan berbagai perlengkapan peralatan rumah tangga.
Bentuk tumbuh-tumbuhan yang biasanya dijadikan lukisan pada pakaian adalah tumbuhan dari jenis akar (baraaran). Namun bentuk lukisan yang mengambil bentuk dari tumbuhan akar disebut ”karawit baraaran”. Jenis akar yang mempunyai arti penting dalam kehidupan terutama yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Dayak. Akar ini merupakan satu-satunya akar yang sangat kuat sebagai lambang keselamatan, kesuburan, dan panjang umur.                               
3. Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan mempunyai pengertian yang luas karena didalamnya terkandung banyak unsur-unsur seni. Unsur-unsur seni tersebut antara lain seni musik, seni tari, seni sastra dan seni drama yang semuanya dapat dimasukan dalam kategori seni pertunjukan.
Tari kancet pepatai atau tari perang terdapat di sepanjang sungai Kayan. Tarian ini menggunakan peralatan mandau dan telaban    ( kelbit ). Tarian ini berasal dari suku Dayak Kenyah, oleh karena itu dinamakan juga tari kenya. Kancet pepatai melukiskan keberanian dan kegesitan seorang pria dalam berperang menghadapi musuh. Tarian ini dapat dibawakan secara tunggal dan dapat pula berpasangan. Instrumen musiknya disebut sampek yaitu sejenis kecapi atau kedirek, semacam terompet yang dibuat dari buah labu air kering dan bambu. Tari lain yaitu kancet ledo.  Tari lain yaitu tari hudo yakni tarian yang dimaksudkan untuk mengusir roh-roh jahat yang mengganggu tanaman dan masyrakat Dayak. Penarinya memakai topeng berbentuk kepala babi, raksasa atau muka manusia yang menyeramkan.                                                       
 4. Seni Perhiasan
Meskipun sejak zaman dahulu Pulau Kalimantan dikenal dengan tambang emasnya, namun masyarakat dayak pada umumnya jarang menggunakan emas sebagai perhiasan. Mereka lebih banyak mempergunakan manik-manik maupun tulang sebagai bahan untuk membuat perhiasan. Mereka menganggap bahwa manik-manik lebih tinggi nilainya daripada emas. Mereka lebih senang menukar emas hasil pendulangannya kepada sultan maupun tempat-tempat penempa emas dan perak. Teknik menempah emas telah menyebar pada masyarakat yang diam dipantai. Dalam upacara tertetu seperti pesta tahun, setiap masyarakat Dayak yang menghadiri upacara diwajibkan berpakaian adat. Yang dilengkapi dengan alat perangkat perhiasan tradisional

B. Teknologi
1.Perlegkapan rumah tangga
Masyarakat Dayak dalam memenuhi barang-barang untuk kepeluan perlengkapan rumah tangganya, sejak dahulu lebih suka menggunakan bahan-bahan yang disediakan oleh alam. Cara pembuatannya pun masih tradisional. Beberapa perlatan yang mereka pergunakan diantaranya adalah rampan, karancangm inge, takin, sendok nasi, topong pamanih, nyiru, kopat, ayakan, piring, mangkok, karaatn, dulang babi, bidai dan lain-lain.
Rampan adalah alat untuk mengangkut bahan makanan seperti sayur-mayur, padi dan berbagai jenis palawija dadang ke rumah. Rampan berbentuk silinder dengan permukaan atas terbuka. Perlatan ini dibuat dari rotan yang dianyam bersusun jarang dengan rangka dari belahan rotan bulat. Alas dibuat dari papan dengan tali gendongan dari kulit kayu. Apabila dilihat bentuk dan kegunaannya, rampan sama fungsinya dengan tankin dan lanjung tinggi. Kerancang digunakan untuk membawa barang seperti buah-buahan dan palawija. Kerancang berbentuk kerucut dengan permukaan terbuka dan berkaki datar. Bahannya dibuat dari belahan rotan. Topong pamanih, yakni alat untuk meletakan benih padi yang akan ditanam. Nyiru yakni alat untuk menampi gabah supaya diperoleh gabah yang bersih yang bebas dari kotoran ataupun gabah yang tidak beruas. Alat ini juga dipergunakan untuk menampi gabah yang telah ditumbuk untuk membersihkan sekamnya sehingga diperoleh beras yang bersih. Bagi masyarakat Dayak, tempayan digunakan sebagai tempat penyimpanan air minum, namun ada juga yang menggunakannya sebagai penyimpan beras. Lebih dari itu mereka juga menggunakannya sebagai tempat menyimpan tulang-tulang manusia yang telah dikuburkan, sebagai alat pembayar denda adat, uang jujuran, penolak bala, penelesaian perdamaian serta simbol kesepakatan adat dan terbuat dari batuan berwarna coklat kehitaman.
2. Senjata
Disamping perlengkapan dalam perwujudan sistem teknologi perlatan rumah tangganya, masyarkat Dayak juga sudah lama mengenal serta membuat berbagai senjata tradisional. Senjata dimaksudkan dipergunakan keperluan berburu binatang liar maupun untuk mempertahankan dari serangan binatang buas.
Mandau yakni senjata khas bagi bangsa Dayak di pulau Kalimantan. Alat ini dibuat dari lempengan besi yang ditimpa hingga berbentuk pipih-panjang seperti parang, berujung runcing menyerupai paruh yang bagian atasnya berlekuk datar. Selain itu mandau juga dilengkapi dengan sembilah pisau kecil bersarung kulit kayu yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Sumpitan yakni jenis senjata untuk berburu atau berperang. Suku Dayak Ngaju dan Maanyan menyebut senjat ini sebagai petan. Senjata ini berbentuk bulat dan berlobang di tengahnya dengan diameter kurang lebih 1 cm dan panjangnya 2 m. Besar kayu kang lebih sama dengan ibu jari kaki.
3. Rumah betang
Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak. Rumah betang Suku Dayak memiliki keunikan tersendiri. Bentuknya memanjang lurus di atas seratus meter, bertiang panggung berketinggian di atas satu meter dan beratap sirap dari kayu ulin. Di dalam rumah betang terdapat puluhan bilik dan satu bilik dihuni satu keluarga. Pintu akses ke dalam mesti melewati tangga dari bawah kolong yang terbuat dari kayu bulat dilengkapi anakan tangga demi mempermudah pijakan.
Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini di perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan, menghindari musuh (Ngayau) , dan binatang liar. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.
Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.

C. Sistem Religi
Sebagaian besar penduduk Kalimantan adalah suku Dayak. Hingga kini suku bangsa ini masih dominan di wilayah Kalimantan walaupun keberadaan hidup mereka lebih banyak tinggal di pedalaman, suku bangsa inilah yang pertama kali mendiami wilayah Pulau Kalimantan. Sistem religi yang mereka lakukan disebut kaharingan. Di Kalimantan Tengah khususnya suku Dayak Ngaju juga melakukan hal yang sama. Mereka juga mengenal suatu sistem keyakinan yang disebut keprcayaan Ngaju.
1. Kaharingan
Kaharingan lebih dikenal sebagai keyakinan orang Dayak Zaman dahulu. Demikian lekatnya kepercayaan ini dibuat mereka sehingga seolah-olah sebagai agama asli mereka. Sebenarnya tidak semua masyarakat Dayak menamakan kepercayaan mereka itu dengan kaharingan. Ada yang menyebut kepercayaan semacam itu dengan istilah agama helu yang artinya agama zaman dahulu. Ada pula yang menyebutkan kepercayaan yang mereka lakukan sebagai agama dusun, bahkan kadang-kadang ada yang memakai kepercayaan mereka itu dengan sebutan ” Agama Dayak”. Namun demikian dari sekian banyak istilah kepercayaan suku bangsa Dayak tersebut, kharinganlah yang paling umum dipakai. Sebutan kharingan sendiri diambil dari kata ”danum kararinganlah” yang berarti ” air kehidupan” (Koentjaraningrat, 1990; 137)
Kaharingan mengajarkan kepada masyrakat penganutnya, dalam hal ini suku bangsa Dayak , untuk menghormati arwah nenek moyang. Mereka menganggap bahwa arwah nenek moyang itu selalu memperhatikan serta melindungi anak cucunya yang masih hidup didunia.
2. Ngaju
Ngaju adalah suatu kepercayaan semacam kaharingan bagi masyarakat Dayak Ngaju. Kepercayaan Ngaju mengajarkan bahwa agama tidak lain berasal dari alam manusia yang dirahmati, karena itu sejarah agama sama dengan sejarah manusia. Hal ini bukan berarti bahwa agama bagi orang Dayak hanya merupakan fantasi, lebih dari itu apa yang mereka anut adalah suatu kenyataan yang berdasarkan natur komunitas dan lambang-lambang totentik yang merupakan asal-usul dari mana mereka hidup.
Upacara-upacara yang terdapat pada orang Dayak dapat diuraikan sebagai beikut : 
  1. Upacara keagamaan terhadap roh nenek moyang dan mahluk halus yang menempati alam sekelilingnya 
  2. Upacara menyambut kelahiran anak 
  3. Upacara memotong rambut bayi 
  4. Upacara penguburan mayat 
  5. Upacara pembakaran mayat
Kalau orang Dayak meninggal, mayatnya dikubur dulu dalam sebuah peti mayat yang terbuat dari kayu berbentuk perahu lesung. Kuburan ini dianggap sebagai kuburan sementara sebelum mayat dibakar dalam suatu upacara terpenting bagi orang Dayak, yaitu upacara pembakaran mayat secara besar-besaran. Pada upacara ini tulang-belulang semua orang sekerabat yang telah  meninggal, digali kemudian  dibakar dan abunya  ditempatkan  pada tempat pemakaman berupa bangunan (tambak).                                                
D. Sistem Kekerabatan
            Sistem kekerabatan orang Dayak bedasarkan prinsip imbilineal, yaitu menghitung hubungan kekerabatan untuk sebagian orang dalam mayarakat melalui laki-laki dan sebagian melalui perempuan.
            Kewargaan dari suatu rumah tangga tidak statis, karena tergantung dari tempat pada waktu ia menikah. Perkawinan yang dianggap paling ideal pada orang Dayak adalah perkawinan antara dua orang bersaudara sepupu, yang kakek-kakeknya bersaudara adalah saudara kandung. Perkawinan yang dianggap sumbang adalah perkawinan antara dua sepupu yang ayah-ayahnya adalah bersaudara kandung. Orang Dayak tidak melarang gadis-gadis mereka menikah dengan laki-laki suku bangsa lain, asalkan saja laki-laki tersebut bersedia tunduk kepada adat mereka dan bersedia terus berdiam di desa mereka.

E. Sistem Politik
A. Tradisi Ngayau
            Secara historis Ngayau menurut suku Dayak Iban mempunyai arti turun berperang dalam rangka mempertahankan status kekuasaan, misalnya mempertahankan atau memperluas daerah kekuasaan yang dibuktikan dengan banyaknya jumlah kepala musuh. Semakin banyak kepala musuh yang diperoleh, maka semakin kuat/ perkasa orang yang bersangkutan. Dalam bahasa Iban Ngau bermakna juga sebagai perang berburu kepala yang dilakukan secara berkelompok disebut "Kayau Banyak"atau individu yang disebut "Ngayau Anak" . Sedangkan orang yang memperoleh kepala dianggap sebagai pahlawan perang yang biasa dianggap dengan "Bujang Berani" atau ksatria
B.     Sistem pemerintahan dan hukum adat
            Pemerintahan desa secara formal berada di tangan pembekal dan pangulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administratif. Pangulu sebagai kepala adat dalam desa. Kedudukan pembekal dan pangulu sangat terpandang di desa. Selain pembekal dan pengulu ada pula satu dewan yang terdiri atas orang tua-tua desa yang dianggap juga ahli dalam adat. Mereka merupakan penasehat pengulu dalam soal adat.
            Menurut A. B. Hudson, hukum pidana RI telah berlaku pada orang Dayak untuk mendampingi hukum adat yang ada. Keduanya saling mengisi, tetapi terkadang terdapat perbedaan. Misalnya, seorang penduduk desa memasang perangkap rusa di hutan. Seorang laki-laki kemudian terkena perangkap tersebut hingga ia meninggal. Laki-laki tersebut anak tunggal dari seseorang sudah lanjut usianya. Anak laki-laki tersebut diharapkan mencari makan untuk mereka. Menurut hukum pidana, si pemasang perangkap rusa tidak bersalah karena tidak ada unsur kejahatan. Tetapi menurut hukum adat suku Dayak, ia bersalah dan harus di denda ( pemberian ganti kerugian). Dendanya adalah orang tua si korban diberikan nafkah oleh si pemasang perangkap.
           
F. Sistem Ekonomi
            Bercocok tanam di ladang adalah mata pencaharian orang Dayak. Mereka membuat ladang dengan cara menebang pohon-pohon dihutan. Batang-batang serta daun-daun dibiarkan mengering selama dua bulan, kemudian dibakar. Pada musim hujan, kira-kira bulan Oktober, mereka mulai menanam. Para laki-laki berbaris di muka sambil menusuk-nusuk tanah dengan tongkat tugalnya. Sedangkan para wanitanya berbaris dibelakang sambil memasukan beberapa butir padi ke dalam lubang yang telah dibuat kaum laki-laki.
            Selain padi, mereka juga menanam ubi kayu, ubi rambat, keladi, terong, nanas, pisang, tebu, cabe, berbagai macam labu-labuan. Pohon buah-buahan yang banyak ditanam diladang ialah durian, cempedak, dan pinang.
            Setelah ladang dipanen beberapa kali tanah mulai tandus. Sebelum meninggalkan tanah tersebut, mereka menanam pohon karet untuk diambil hasilnya kelak.
G. Bahasa Suku Dayak
            Bahasa dayak sangat luas cakupannya tergantung tempat penyebaran tempat tinggal mereka, dan terbagi menjadi beberapa sub bahasa yaitu:
1.      Bahasa Bidayuhik, merupakan bahasa yang dituturkan mayoritas subsuku Dayak Bakati, Kanayatn yang umumnya berdomisili di Kabupaten Landak, Bengkayang, dan Pontianak di aliran Sungai Mempawah, Sungai Landak, beserta anakannya. Tidak sulit mengenali para penutur Bidayuhik ini karena saat berbicara dengan mereka kita akan mendengar kata-kata yang diucap dengan konsonan ganda.
2.      Sedangkan subsuku penutur Ibanik, misalnya Dayak Iban, Dayak Ketungau, Dayak Mualang, dan Dayak Desa yang persebarannya berada di wilayah-wilayah Kalimantan Barat bagian utara, di deretan Pegunungan Kapuas (Baik Hulu maupun Hilir) yang kadang juga dikenal sebagai Pegunungan Iban; mulai dari Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sintang, hingga Kapuas Hulu. Ciri khas bahasa ini adalah vokal [ai] di belakang suatu kata. Salah satu aliran sungai yang cukup banyak permukimannya adalah Sungai Ketungau (yang lalu menjadi nama subsuku di situ).
3.      Sedangkan bahasa Uud Danumik, adalah bahasa untuk subsuku utama Uud Danum (berarti hulu sungai) yang berdiam di Pegunungan Schawner di dekat Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya di selatan Kabupaten Sintang, yang sebagian wilayahnya dilewati Sungai Serawai. Ciri khas bahasanya adalah geseran pada beberapa konsonan seperti bunyi [s] yang dituturkan [sh]. Secara umum, buku ini menelusuri identitas orang Dayak mengenai sub suku dan bahasanya, dilihat dari perspektif mereka sendiri menamakan dirinya. Secara alfabetis, dipaparkan keberadaan keberagaman Dayak di Kalimantan Barat: 151 subsuku, 100 sub-subsuku, dan 168 bahasa Dayak. Profil dan asal mula singkat terjadinya setiap sub suku, ditampilkan dalam buku ini.
  1. BahasaDayak Ngaju  di Kalimantan Tengah
  2. Bahasa Kayan (18 bahasa di Kalimantan tengah, termasuk Kayan)
  3. Kenyah (11 bahasa di Kalimantan tengah disebut Kenyah)
H. Sistem Pengetahuan
Secara keseluruhan sistem pengetahuan orang Dayak dikaitkan dengan sistem kepercayaan mereka.  Pengetahuan tentang bertani, ilmu gaib, dan sebagainya selalu dikaitkan dengan kepercayaan terhadap roh-roh.  Kesenian mereka umumnya dibuat untuk keperluan upacara adat dalam rangka menghormati roh nenek moyang. Upacara adat yang menonjol adalah yang berkaitan dengan roh, yaitu upacara membatur dan membuntang. 

Dalam studi-studi kemasyarakatan pada umumnya, sering kita temui betapa pun sederhananya suatu masyarakat pasti memiliki tradisi, nilai-nilai atau konsep-konsep budaya tertentu. Bahkan telah memusatkan perhatian mereka ke wilayah kajian ini sudah lebih awal. Dimana golongan (yang oleh kaum positivisme eropa) dulunya pernah dianggap barbaric, savage dan uncivitalized, ternyata banyak sekali menyimpan kekayaan-kekayaan dalam lumbung-lumbung kebudayaan mereka berupa pengetahuan asal (indigenuos knowledge) dan kearifan-kearifan tertentu. Misalnya saja pengetahuan rakyat tentang tanah, tetumbuhan, prilaku iklim, hama, penyakit-penyakit atau pengetahuan yang tersirat dalam syair-syair lagu, pribahasa dan cerita-cerira yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi. Atau pengetahuan yang dimiliki oleh para pakar lokal seperti para peracik obat-obatan, pawang hujan, pemimpin upacara-upacara suci (Ton Dietz,1998).


DAFTAR PUSTAKA 

Anyang, Thambun. Y.C.,dkk. 1990. Pakaian Adat Tradisional Daerah Propinsi Kalimantan Barat. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan


Aloy, Sujarni.,dkk. 2008. Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak : Institut Dayakologi  

Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial. Jakarta : Bumi Aksara.

Umberan, Musni.,dkk. 1993. Sejarah Kebudayaan Kalimantan. 
                Jakarta : CV. Dwi Jaya Karya

Yudono, Jodhi. 2007. ”Upacara Ngayau, Kepala Musuh untuk Kehormatan dan Kekuasaan”. Kompas Negeriku. 06 Juni, versi 1.


Tidak ada komentar: